“Self control is a influence over, and
regulation of ,his physical, behavioural, and psychological processes—in other
word, the set of processes that constitute his self (Calhoun & Accolella 1990)
Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan self control sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis,
dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk
dirinya sendiri.
Self
control merupakan suatu
kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta
kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku. Hal tersebut disesuaikan
dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam mengendalikan perilaku,
kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku. Hal
tersebut dilakukan agar sesuai dengan tuntutan orang lain, menyenangkan orang
lain, selalu konform dengan orang lain, menutup perasaannya.
Liebert,
poulos, dan Marmour (1979) menyatakan bahwa self
control adalah tingkah laku dimana individu memonitor aksinya sendiri dalam
cara tertentu pada situasi segera yang ada dan tidak ada tekanan. Goldfried dan
Merbaum (dalam Lazarus, 1976), Mendefinisikan self control sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing,
mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah
konsekuensi positif. Self control
juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk
menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan
tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976).
Dalam
berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan berusaha menampilkan perilaku
yang dianggap paling tepat bagi dirinya yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan
interaksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang
dilakukannya. Self control diperlukan
guna membantu individu dalam mengatasi kemampuanya yang terbatas dan membantu
individu dalam mengatasi berbagai hal merugikan yang mungkin terjadi yang
berasal dari luar.
Calhoun
dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang mengaruskan individu untuk
mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu hidup bersama kelompok
sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya
agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, Masyarakat mendorong
individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya,
sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri
agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal
yang menyimpang.
Dalam self
control individu sendiri yang menyusun standar bagi kinerjanya dan
menghargai atau menghukum dirinya bila berhasil atau tidak berhasil mencapai
standar tersebut. dalam kontrol eksternal orang lainlah yang menyusun standar
dan memberi ganjaran atau hukum. Tidak mengherankan bila self control dianggap
sebagai suatu ketrampilan berharga (Calhoun dan Acocella, 1990).
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka self control dapat diartikan sebagai suatu aktivitas
pengendalian tingkah laku, pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu
melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu
untuk bertindak. Semakin tinggi kontrol diri semakin intens pengendalian
terhadap tingkah laku.
2.1.2 Perkembangan Self Control dalam Diri Individu
Self control berkembang dalam system
nilai personal yang ada pada diri individu (Liebert, Poulus, dan Marmour, 1979)
dan perkembangan ini terjadi sejak masih bayi (Calhoun dan Acocella, 1990). Perkembangan Self
control dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan proses belajar dasar
pada individu tersebut. Proses belajar dasar pada diri individu adalah :
1. Clasical learning (Respondent Conditioning)
Pada classical learning, respon (CR) muncul
didahului oleh stimulus netral (CS) setelah stimulus dipasangkan dengan Unconditioned Stimulus (US). Sejak bayi
pada anak-anak belajar banyak sikap dan tingkah laku melalui classical learning, termasuk evaluasi
positif dan negatif, rasa takut dan prasangka. Calhoun dan Acocella (1990)
menyatakan bahwa respondent conditioning
berfungsi untuk memperkuat self-control.,
melalui rantaian asosiasi, daftar mental kita mengenai sesuatu yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Hal ini memperluas respon emosi yang akan memanipulasi tingkah laku. Respondent conditioning akan melatih
seseorang untuk menunda pemuasan.
2. Instrumental Learning (Operant Conditioning)
Pada instrumental learning, konsekuensi dari perbuatan menentukan
kemungkinan terjadinya tingkah laku tersebut dimasa yang akan datang. Calhoun
dan Acocella (1990) menyatakan bahwa proses belajar operant conditioning memberikan penguatan dan pelemahan pada
tingkah laku melalui konsekuensi yang diberikan. Melalui operant conditioning seseorang dapat belajar untuk mengontrol dan
mengarahkan tingkah laku untuk mendapat konsekuensi yang menyenangkan atau
untuk menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan. Disebut sebagai reinforcer dan efeknya disebut reinforcement.
Terdapt dua tipe dari reinforcer,
yaitu :
- Primary reinforcer, stimuli yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang diperoleh seseorang tanpa proses belajar dan berwujud langsung, misalnya makan dan minum.
- Conditioned reinforcer, stimuli yang memberi seseorang nilai positif atau negative melalui asosiasi pada primary reinforcer atau melalui reinforcer yang telah diperoleh sebelumnya.
Reinforcer
berfungsi untuk menguatkan tingkah laku melalui dua tipe konsekuensi, yaitu:
- Positive reinforcement, pemberian stimulus yang menyenangkan
- Negative reinforcement, pemindahan stimulus yang tidak menyenangkan
Selain
reinforcement yang dapat menguatkan tingkah laku, terdapat pula reinforcer yang
melemahkan tingkah laku , yaitu:
- Punishment, pemberian stimulus yang tidak menyenangkan atau hukuman
- Ekstinction, pemindahan stimulus yang menguatkan kontrol
Liebert,
Poulus, dan Marmour (1979) menyatakan bahwa dalam hal ini setiap kali respon
muncul dalam rangkaian reinforcer.
Rangkaian dan perkiraan keberhasilan adalah prosedur yang efektif dari reinforcement untuk membentuk tingkah
laku yang di inginkan. Dengan mengacu pada punishment,
waktu pemberiannya, dan intensitasnya merupakan variabel utama untuk membentuk
perilaku. Skinner (1952, dalam Calhoun dan Acocella, 1990) menyatakan bahwa
hidup kita berisi jaringan yang amat luas dari reward dan punishment,
yang memaksakan kita untuk meniadakan, mengendalikan, dan menyalurkan keinginan
kita.
3.
Observational Learning (Modeling)
Obervational learning (modeling)
merupakan fungsi dari melihat tingkah laku orang lain. Hal yang memungkinkan
individu meniru baik secara langsung maupun tidak langsung. Observational learning terjadi dalam
tiga tahap, yaitu penyingkapan, penerimaan, dan perolehan. Maka harus
diperhatikan karakteristik dari stimulus, pengamat dan model, termasuk vicarious consequences, yaitu
konsekuensi yang terjadi pada model sebagai hasil dari tindakannya. Calhoun dan
Acolella (1990) menyatakan bahwa melalui metode belajar dengan model, seseorang
dapat belajar mengontrol diri seperti apa yang diamatinya pada model. Tingkah
laku melalui proses modeling dapat terjadi meskipun tanpa pemberian reinforcement langsung (Bandura, 1971;
dalam Calhoun dan Acocela, 1990). Seperti hanya dengan kekuatan pengaruh
sosial-keinginan untuk menjadi seperti orang lain, khususnya orang yang
terlihat lebih berkekuatan dan menarik, cukup membuat kita meniru apa yang kita
lihat (Calhoun dan Acocella, 1990). Jika seseorang menampilkan tingkah laku
yang bertentangan dengan model, maka akan timbul perasaan bersalah (liebert,
Poulus, dan Marmour,1979). Penelitian laboraturium dengan anak-anak
memperlihatkan bahwa modeling sangat efektif dalam pemindahan dua kemampuan
sulit yang penting untuk membentuk self control, yaitu penundaan kepuasan dan
membuat self reward atas pemampilan
yang memuaskan (Bandura dan Mischel,1965, dalam Calhoun dan Acocella,1990)
Menurut
Calhoun dan Acocella (1990) selain dari ketiga proses belajar dasar tersebut,
ada hal lain yang perlu diperhaikan, yaitu:
- Avoidance learning
Dalam self control,
seseorang belajar untuk menghindari kepuasan yang bersifat segera untuk
mendapat tujuan jangka panjang yang lebih memuaskan. Antara lain meliputi dua
proses yaitu :
- Mendapat teguran atau hukuman atas suatu tampilan tingkah laku, maka melalui respondent conditioning, kecemasan dihubungkan dengan keinginan untuk tetap menampilkan tingkah laku.
- Berusaha menekan dorongan tingkah laku serupa untuk menghindari perasaan tidak menyenangkan yang menyertai tingkah laku tersebut. Proses ini terjadi melalui operant conditioning.
Avoidance learning memperkenankan individu untuk menghindari
situasi yang tidak menyenangkan sebelum situasi itu terjadi.
- Generalization dan discrimination
Kemampuan untuk menghubungkan antara hal yang satu
dengan hal yang lain secara berulang akan membuat suatu generalisasi. Sedangkan
diskriminasi merupakan kebalikan dari generalisasi, yaitu proses belajar
melalui pengalaman yang berbeda, sehingga dapat membedakan antara satu stimulus
dengan stimulus lainnya.
Diskriminasi penting dalam mempelajari self control karena membuat individu
menyalurkan kebutuhan dan keinginan pada jalan keluar yang tepat, sehingga
dapat memuaskan diri tanpa terlibat dalam pelanggaran atau tingkah laku yang
berbahaya.
2.1.3. Hasil dari Perkembangan Self
Control
Calhoun
dan Acocella (1990) menyatakan pada dasarnya melalui proses belajar seseorang
dapat mengetahui bagaimana mengontrol dirinya.
1. Bodily
control (Kontrol tubuh)
Self control bukan sesuatu yang dibawa
sejak lahir, melainkan didapat melalui proses pembelajaran. Ketika seseorang
mulai mempelajari pengendalian diri, maka akan diawali dengan mengontrol
tubuhnya sendiri, seperti mengontrol gerakan badan, mengontrol koordinasi
tangan serta kaki. Kemampuan mengontrol diri pada masa awal kehidupan,
membentuk pengalaman awal dari self
control dan reward yang diberikan
membentuk motivasi untuk meningkatkan self
control. Seiring dengan semakin berkembangnya pertumbuhan manusia, maka
akan semakin banyak proses kontrol yang dipelajari.
Berdasarkan
uraian diatas bodily control (kontrol
tubuh) dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengendalikan perilaku
fisik.
2.Control
over impulsive behaviour (Kontrol tingkah laku impulsif)
Tingkah
laku impulsif merupakan tingkah laku yang harus segera dilakukan untuk
mendapatkan pemenuhan dengan segera. Untuk mengontrol tingkah laku impulsif
diperlukan dua kemampuan, diantaranya :
§ Kemampuan untuk menunggu terlebih dahulu
sebelum bertindak
§ Kemampuan mengabaikan pemenuhan kebutuhan
segera untuk mencapai reward yang
lebih besar di masa yang akan datang
- Berdasarkan uraian diatas Control over impulsive behaviour (Kontrol tingkah laku impulsif) dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengendalikan pemuasan kebutuhan segera untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang.
3. Reactions
to the self (Reaksi pada diri)
Selain reinforcement yang dapat mengontrol
diri, hal yang lebih penting adalah reaksi diri. Seseorang akan selalu melakukan
evaluasi terhadap tampilan tingkah lakunya. Reactions
to the self (Reaksi pada diri) dapat diartikan sebagai kemampuan
individu untuk mengevaluasi atas tampilan tingkah lakunya.
2.1 4. Peran Self Control
Self
control memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, terdapat dua
alasan mengapa self control penting
(Calhoun dan Acocclla, 1990), yaitu :
a. Faktor
sosial
Karena manusia hidup berkelompok
dalam suatu masyarakat, maka setiap orang harus dapat mengontrol tingkah laku
yang bertentangan dengan norma masyarakat. Setiap manusia menpunyai
dorongan-dorongan dalam diri yang menuntut pemuasan, misalnya saja
dorongan-dorongan seksual dan agresif. Oleh karena harus memuaskan kebutuhan
dari dorongan-dorongan tersebut, maka manusia tersebut harus dapat mengontrol
dorongan yang dimilikinya agar tidak muncul menjadi tampilan tingkah laku yang
tidak dapat diterima oleh masyarakat disekelilingnya, sehingga tidak mengganggu
kenyamanan dan keamanan orang lain.
b. Faktor
personal
Setiap manusia memperoleh pencapaian
tujuannya melalui keiginan. Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan self control. Seseorang akan membuat
standar-standar untuk mencapai tujuan, dan ketika pencapaiannya diperlukan
proses belajar mengontrol dorongan untuk memuaskan kebutuhan dengan segera demi
tercapainya tujuan jangka panjang yang diharapkan.
2.1.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self
Control
Sebagaimana
faktor psikologis lainnya, self control
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor-faktor yang
memepengaruhi self control ini
terdiri dari faktor internal (dari diri individu), dan faktor eksternal
(lingkungan individu).
a. Faktor internal
Faktor
internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah
usia seseorang maka, semakin baik kemampuan mengontrol diri seseorang itu.
b. Faktor eksternal.
Faktor
eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga
terutama orangtua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang.
2.1.6. Problem dalam Self Control
Jika self control berkembang
dengan baik, kemudian bodily control,
impulse control, dan self reaction
pada individu telah membawanya secara konsisten tetap bahagia, bebas dari rasa
bersalah, dan hidup konstruktif, didukung dengan keinginan diri sendiri dan lingkungan
sosialnya. Dalam kehidupan sebenarnya, bagaimanapun, self control pada individu tetap saja memiliki kekurangan, tidak
semua individu mampu melakukan pengendalian diri secara konsisten.
Kemampuan
pengendalian diri kita bervariasi. Ada
orang yang sering terlalu banyak minum (hingga mabuk), yang lain terlalu banyak
makan, yang lain lagi mudah kehilangan kontrol emosi, cenderung menunda
pekerjaan, bermain game terlalu lama dan sebagainya. Bagaimana hal ini dapat
terjadi?
Seperti
halnya kontrol diri yang kuat, kontrol diri yang lemah juga berkembang melalui
proses belajar. Contohnya, seorang remaja yang tetap impulsif, yakni selalu
marah bila keinginannya tak terpenuhi, kemungkinan menjadi demikian karena
sejak kecil orangtuanya selalu menuruti segala permintaan (berfungsi sebagai
ganjaran) setiap kali anaknya itu merengek meminta sesuatu, terlebih-lebih bila
anaknya mulai marah. Ketika pola ganjaran semacam ini terjadi berulang-ulang,
berarti anak mengalami proses pembelajaran bahwa permintaannya pasti terpenuhi
bila disertai marah. Selanjutnya ia mengembangkan pola perilaku marah setiap
kali permintaannya belum terpenuhi.
Seseorang
yang memiliki kebiasaan menunda pekerjaan, mungkin menjadi demikian karena
sejak kecil terbiasa bekerja dalam tekanan orangtua (berfungsi sebagai
hukuman). Dalam situasi demikian ia termotivasi melakukan tugas hanya untuk
menghindari hukuman. Akibatnya, dalam situasi tanpa adanya tekanan, ia
cenderung bermalas-malasan.
Hal
yang sama mungkin terjadi pada pemain online
game, ketika bermain kemungkinan individu akan memperoleh kesenangan ketika
mendapatkan level karakter yang dimainkannya meningkat dan mendapatkan sejumlah
poin. Semakin tinggi level karakternya dan semakin banyak poin yang
diperolehnya maka akan dianggap sebagai orang yang hebat atau jago (berfungsi
sebagai ganjaran). Ketika pola ganjaran semacam ini terjadi berulang-ulang,
berarti individu mengalami proses pembelajaran bahwa ia akan sangat dihargai
dan dianggap sebagai orang yang hebat ketika ia medapatkan level karakter yang
dimainkannya semakin tinggi dan mendapatkan banyak poin. Selanjutnya ia
mengembangkan pola prilaku bermain dan kemungkinan menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk bermain. Hal inilah yang memungkinkan individu akan menjadi
addict karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bermain online game.
0 komentar:
Posting Komentar