Kisah Sukses Purdi E Chandra, Pemilik Bimbel Primagama
Filed Under :
Kisah-Kisah Orang Sukses
by Unknown
Senin, 27 Mei 2013
Omzet 70 Miliar per Tahun
Purdi E Chandra lahir
di Lampung 9 September 1959. ia mulai berbisnis sejak ia masih duduk di
bangku SMP di Lampung, yaitu ketika dirinya mulai beternak ayam dan
bebek, dan kemudian menjual telurnya di pasar. Sosok Purdi E. Chandra
kini dikenal sebagai pengusaha yang sukses. Bisnis “resminya” sendiri
dimulai pada 10 Maret 1982, yakni ketika ia bersama teman-temannya
mendirikan Lembaga Bimbingan Test Primagama (kemudian menjadi bimbingan
belajar). Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel)Primagama yang
didirikannya bahkan masuk ke Museum Rekor Indonesia (MURI) lantaran
memiliki 181 cabang di 96 kota besar di Indonesia dengan 100 ribu siswa
tiap tahun.
Waktu mendirikan bisnisnya tersebut Purdi masih tercatat sebagai mahasiswa di 4 fakultas dari 2 Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Namun karena merasa “tidak mendapat apa-apa” ia nekad meninggalkan dunia pendidikan untuk menggeluti dunia bisnis. Sejak awal Purdi muda sudah berani meninggalkan kota kelahirannya dan mencoba mandiri dengan bersekolah di salah satu SMA di Yogyakarta. Ibunya, Siti Wasingah dan ayahnya, Mujiyono, merestui keinginan kuat anaknya untuk mandiri. Dengan merantau Purdi merasa tidak tergantung dan bisa melihat berbagai kelemahan yang dia miliki. Pelan-pelan berbagai kelemahan itu diperbaiki oleh Purdi. Hasilnya, Ia mengaku semakin percaya diri dan tahan banting dalam setiap langkah dalam bisnisnya. Bukan suatu kebetulan jika pengusaha sukses identik dengan kenekatan mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah.
Seorang pengusaha sukses tidak ditentukan gelar sama sekali. Inilah yang dipercaya Purdi ketika baru membangun usahanya. Kuliah di 4 jurusan yang berbeda, Psikologi, Elektro, Sastra Inggris dan Farmasi di Universitas Gajah Mada (UGM) dan IKIP Yogya membuktikan kecemerlangan otak Purdi. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang menurutnya membosankan. Ia yakin, gagal meraih gelar sarjana bukan berarti gagal meraih cita-cita. Purdi muda yang penuh cita-cita dan idealisme ini pun nekad meninggalkan bangku kuliah dan mulai serius untuk berbisnis.
Sejak saat itu pria kelahiran Punggur, Lampung Tengah ini mulai menajamkan intuisi bisnisnya. Dia melihat tingginya antusiasme siswa SMA yang ingin masuk perguruan tinggi negeri yang punya nama, seperti UGM. Bagaimana jika mereka dibantu untuk memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, pikirnya waktu itu. Purdi lalu mendapatkan ide untuk mendirikan bimbingan belajar yang diberi nama, Primagama. Purdi memulai usaha sejak tahun 1982. Mungkin karena tidak selesai kuliah itu yang memotivasi ia menjadi pengusaha, kisah Purdi. Lalu, dengan modal hasil melego motornya seharga 300 ribu rupiah, ia mendirikan Bimbel Primagama dengan menyewa tempat kecil dan disekat menjadi dua. Muridnya hanya 2 orang. Itu pun tetangga. Biaya les cuma 50 ribu untuk dua bulan. Kalau tidak ada les maka uangnya bisa dikembalikan.
Segala upaya dilakukan Purdi untuk membangun usahanya. Dua tahu setelah itu nama Primagama mulai dikenal. Muridnya bertambah banyak. Setelah sukses, banyak yang meniru nama Primagama. Purdi pun berinovasi untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya ini. Sebenarnya yang bikin Primagama maju itu setelah ada program jaminan diri, ungkapnya soal rahasia sukses mengembangkan Bimbel Primagama. Kalau ikut Primagama pasti diterima di Universitas Negeri. Kalau nggak uang kembali. Supaya
diterima
murid-murid yang pintar diangkat jadi pengajar. Karena yang membimbing
pintar, maka 90% bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri,
lanjutnya.
Dengan “jatuh bangun” Purdi menjalankan Primagama. Dari semula hanya 1 outlet dengan hanya 2 murid, Primagama sedikit demi sedikit berkembang. Kini murid Primagama sudah menjadi lebih dari 100 ribu orang per-tahun, dengan ratusan outlet di ratusan kota di Indonesia. Karena perkembangan itu Primagama ahirnya dikukuhkan sebagai Bimbingan Belajar Terbesar di Indonesia oleh MURI (Museum Rekor Indonesia).
Mengenai bisnisnya, Purdi mengaku banyak belajar dari ibunya. Sementara untuk masalah kepemimpinan dan organisasi, sang ayahlah yang lebih banyak memberi bimbingan dan arahan. Bekal dari kedua orang tua Purdi tersebut semakin lengkap dengan dukungan penuh sang Istri Triningsih Kusuma Astuti dan kedua putranya Fesha maupun Zidan. Pada awal-awal berdirinya Primagama, Purdi selalu ditemani sang istri untuk berkeliling kota di seluruh Indonesia membuka cabang-cabang Primagama. Dan atas bantuan istrinya pula usaha tersebut makin berkembang.
Purdi yang lahir di Lampung ini memang jadi model wirausaha jalanan, plus modal nekad. la tinggalkan kuliahnya di empat fakultas di UGM dan IKIP Yogyakarta. Lalu dengan modal Rp.300 ribu ia dirikan lembaga bimbingan tes Primagama 10 Maret 1982 di Yogyakarta. Sebuah peluang bisnis potensial yang kala itu tidak banyak dilirik orang. la sukses membuat Primagama beromset hampir 70 milyar per tahun, dengan 200 outlet di lebih dari 106 kota.
Kini Primagama sudah menjadi Holding Company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang seperti: Pendidikan Formal, Pendidikan Non-Formal, Telekomunikasi, Biro Perjalanan, Rumah Makan, Supermarket, Asuransi, Meubelair, Lapangan Golf dan lain sebagainya..
BODOL, BOTOL dan BOBOL
Purdi mengaku punya resep manjur bagi yang ingin berwirausaha, yaitu BODOL, BOTOL dan BOBOL. Mungkin masih kedengaran aneh di telinga, namun ia meyakinkan bahwa resep ini berguna bagi yang merasa ragu-ragu dan terlalu banyak perhitungan dalam berusaha yang malah menghambat rencana mereka untuk berwirausaha.
Purdi mengaku punya resep manjur bagi yang ingin berwirausaha, yaitu BODOL, BOTOL dan BOBOL. Mungkin masih kedengaran aneh di telinga, namun ia meyakinkan bahwa resep ini berguna bagi yang merasa ragu-ragu dan terlalu banyak perhitungan dalam berusaha yang malah menghambat rencana mereka untuk berwirausaha.
Jika orang bingung ketika memulai bisnis karena tak punya modal, menurut
Purdi gunakan saja resep BODOL yaitu Berani, Optimis, Duit, Orang Lain.
Dalam bisnis diperlukan keberanian dan rasa optimis. Jika tidak punya
uang tidak ada salahnya pinjam duit orang lain. Pasti ada orang yang mau
membiayai bisnis yang akan kita jalankan jika memang prospektif.
Kalau kita punya duit dan modal tapi tidak ahli di bidang bisnis,
gunakan jurus BOTOL, tukas Purdi. Berani, Optimis, Tenaga, Orang Lain.
Jika kita punya modal, kenapa tidak kita serahkan pada yang ahli di
bidangnya sehingga bisnis tetap berjalan. Pendeknya kita tak harus
menggunakan tenaga sendiri untuk menjalankan bisnis.
Resep terakhir adalah jurus BOBOL. yaitu Berani, Optimis, Bisnis, Orang,
Lain. Ini dikeluarkan jika ide bisnis pun tak ada maka kita bisa meniru
bisnis orang lain tambah Purdi. Ibaratnya, bisnis adalah seperti masuk
ke kamar mandi yaitu dengan tidak banyak berpikir. Jika di kamar mandi
airnya kurang hangat, semua bisa diatur hingga sesuai dengan keinginan
kita.
Enterpreuner University, Kuliah Tanpa Gelar
Semua orang bisa jadi wirausahawan, ucap suami Triningsih Kusuma Astuti
ini yakin. Memang yang paling baik ditanamkan pendidikan enterpreuner
ini sejak kanak-kanak di dalam keluarga. Sebab, anak akan merekan
semuanya dalam memorinya dan selanjutnya akan menjadi pola pikir dan
cara perilaku anak di masa depannya. Namun, itu bukanlah hal-hal penentu
keberhasilan. Begitu pula dengan faktor usia, kaya-miskin, jenius atau
tidak, juga gelar formal, kata pria yang juga menjadi dosen tamu di
beberapa universitas ini.
Untuk menjadi pengusaha tak perlu pintar dan memiliki embel-embel gelar.
Sebab jika terlalu pintar justru malah akan berhitung dan melihat
banyak resiko yang harus dihadapi sehingga nyalinya malah ciut.
Bayangkan anda kuliah Magister Manajemen (MM) di UI anda harus bayar 50
juta. Selesai kuliah mungkin anda merasa tidak punya uang, katanya lagi.
Keprihatinannya terhadap iklim bisnis di Indonesia menyebabkan Purdi
harus melakukan sesuatu. Tampilah ia sebagai bagian dari politisi yang
manggung di Senayan sampai tahun ini. Keinginannya adalah merubah pola
pendidikan saat ini yang berorientasi menjadi pekerja bukan pengusaha.
Seharusnya, menurut pria yang pernah menjadi ketua Himpunan Penguasaha
Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogya ini, ada alternatif lain dalam
sistem pendidikan kita. Paling tidak anak-anak diajarkan untuk berwira
usaha. Sayangnya idenya tidak mendapat tanggapan.
Saya merasa adanya universitas untuk mencetak pengusaha baru itu
penting. Kalau perlu universitas ini tidak perlu menggunakan aturan
formal, tanpa status,tanpa akreditasi, tanpa dosen, tanpa ijazah dan
tanpa gelar. Wisudanya pun dilakukan saat mahasiswa benar-benar membuka
usaha, ujar pria yang menerima Enterprise 50 dari Anderson Consulting
dan Majalah Swa ini serius.
Idenya ini diwujudkan dengan membentuk Enterpreuner University (EU).
Dengan dibimbing langsung oleh Purdi, EU kini telah memiliki 37
angkatan. Di sana tak ada nilai, ijazah maupun gelar. Menurut Purdi
masyarakatlah yang berhak menilai pengusaha itu memiliki kredibilitas
atau tidak, sukses atau tidak. Hal ini berbeda dengan pendidikan yang
memberlakukan ujian tapi tidak membolehkan siswanya mencontek.
Dalam dunia riil bisnis, yang namanya bertanya sah-sah saja. Menyontek
usaha orang lain juga boleh saja. Meniru kiat sukses pengusaha lain juga
silahkan. Nggak ada yang melarang, Purdi beralasan.
Di EU yang hanya memakan waktu 6 bulan dan kuliah seminggu 2 kali ini,
Purdi mengkonsentrasikan pendidikannya pada pengembangan kecerdasan
emosional, spiritual, mempertajam kreativitas dan intuisi bisnis
mahasiswanya. Materinya pun seputar nilai-nilai kewirausahaan seperti
pantang menyerah, kreatif dan inovatif, semangat tinggi, berani dan jeli
melihat peluang usaha. Purdi yakin kelak EU akan mencetak
pengusaha-pengusaha baru yang akan menggiatkan iklim investasi di
Indonesia.
Salam Sukses!
0 komentar:
Posting Komentar