Kisah Sukses Bob Sadino, Memilih Miskin Sebelum Kaya
Filed Under :
Kisah-Kisah Orang Sukses
by Unknown
Senin, 27 Mei 2013
Penampilannya eksentrik. Bercelana pendek jeans, kemeja lengan pendek
yang ujung lengannya tidak dijahit, dan kerap menyelipkan cangklong di
mulutnya. Ya, itulah sosok pengusaha ternama Bob Sadino, seorang
entrepreneur sukses yang merintis usahanya benar-benar dari bawah dan
bukan berasal dari keluarga wirausaha. Siapa sangka, pendiri dan pemilik
tunggal Kem Chicks (supermarket) ini pernah menjadi sopir taksi dan
kuli bangunan dengan upah harian Rp100.
Celana pendek memang menjadi “pakaian dinas” Om Bob –begitu dia biasa
disapa– dalam setiap aktivitasnya. Pria kelahiran Lampung, 9 Maret 1933,
yang mempunyai nama asli Bambang Mustari Sadino, hampir tidak pernah
melewatkan penampilan ini. Baik ketika santai, mengisi seminar
entrepreneur, maupun bertemu pejabat pemerintah seperti presiden. Aneh,
namun itulah Bob Sadino.
“Keanehan” juga terlihat dari perjalanan hidupnya. Kemapanan yang
diterimanya pernah dianggap sebagai hal yang membosankan yang harus
ditinggalkan. Anak bungsu dari keluarga berkecukupan ini mungkin tidak
akan menjadi seorang entrepreneur yang menjadi rujukan semua orang
seperti sekarang jika dulu tidak memilih untuk menjadi “orang miskin”.
Sewaktu orangtuanya meninggal, Bob yang kala itu berusia 19 tahun
mewarisi seluruh hartake kayaan keluarganya karena semua saudara
kandungnya kala itu sudah dianggap hidup mapan. Bob kemudian
menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam
perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih
sembilan tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota
Amsterdam, Belanda, juga di Hamburg, Jerman. Di Eropa ini dia bertemu
Soelami Soejoed yang kemudian menjadi istrinya.
Sebelumnya dia sempat bekerja di Unilever Indonesia. Namun, hidup dengan
tanpa tantangan baginya merupakan hal yang membosankan. Ketika semua
sudah pasti didapat dan sumbernya ada menjadikannya tidak lagi menarik.
“Dengan besaran gaji waktu itu kerja di Eropa, ya enaklah kerja di sana.
Siang kerja, malamnya pesta dan dansa. Begitu-begitu saja, terus
menikmati hidup,” tulis Bob Sadino dalam bukunya Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila.
Pada 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Kala itu dia membawa
serta dua mobil Mercedes miliknya. Satu mobil dijual untuk membeli
sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Setelah beberapa lama tinggal
dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya
karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri. Satu mobil
Mercedes yang tersisa dijadikan “senjata” pertama oleh Bob yang memilih
menjalani profesi sebagai sopir taksi gelap. Tetapi, kecelakaan
membuatnya tidak berdaya. Mobilnya hancur tanpa bisa diperbaiki.
Setelah itu Bob beralih pekerjaan menjadi kuli bangunan. Gajinya ketika
itu hanya Rp100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup
yang dialaminya. Bob merasakan bagaimana pahitnya menghadapi hidup tanpa
memiliki uang. Untuk membeli beras saja dia kesulitan. Karena itu, dia
memilih untuk tidak merokok. Jika dia membeli rokok, besok keluarganya
tidak akan mampu membeli beras.
“Kalau kamu masih merokok, malam ini besok kita tidak bisa membeli beras,” ucap istrinya memperingati.
Kondisi tersebut ternyata diketahui teman-temannya di Eropa. Mereka
prihatin. Bagaimana Bob yang dulu hidup mapan dalam menikmati hidup
harus terpuruk dalam kemiskinan. Keprihatinan juga datang dari
saudara-saudaranya. Mereka menawarkan berbagai bantuan agar Bob bisa
keluar dari keadaan tersebut. Namun, Bob menolaknya.
Dia sempat depresi, tetapi bukan berarti harus menyerah. Baginya,
kondisi tersebut adalah tantangan yang harus dihadapi. Menyerah berarti
sebuah kegagalan. “Mungkin waktu itu saya anggap tantangan. Ternyata
ketika saya tidak punya uang dan saya punya keluarga, saya bisa
merasakan kekuatan sebagai orang miskin. Itu tantangan, powerfull.
Seperti magma yang sedang bergejolak di dalam gunung berapi,” papar Bob.
Jalan terang mulai terbuka ketika seorang teman menyarankan Bob
memelihara dan berbisnis telur ayam negeri untuk melawan depresinya.
Pada awal berjualan, Bob bersama istrinya hanya menjual telur beberapa
kilogram. Akhirnya dia tertarik mengembangkan usaha peternakan ayam.
Ketika itu, di Indonesia, ayam kampung masih mendominasi pasar. Bob-lah
yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya ke
Indonesia. Bob menjual telur-telurnya dari pintu ke pintu. Padahal saat
itu telur ayam negeri belum populer di Indonesia sehingga barang
dagangannya tersebut hanya dibeli ekspatriat-ekspatriat yang tinggal di
daerah Kemang.
Ketika bisnis telur ayam terus berkembang Bob melanjutkan usahanya
dengan berjualan daging ayam. Kini Bob mempunyai PT Kem Foods (pabrik
sosis dan daging). Bob juga kini memiliki usaha agrobisnis dengan sistem
hidroponik di bawah PT Kem Farms. Pergaulan Bob dengan ekspatriat
rupanya menjadi salah satu kunci sukses. Ekspatriat merupakan salah satu
konsumen inti dari supermarketnya, Kem Chick. Daerah Kemang pun kini
identik dengan Bob Sadino.
“Kalau saja saya terima bantuan kakak-kakak saya waktu itu, mungkin saya
tidak bisa bicara seperti ini kepada Anda. Mungkin saja Kemstick tidak
akan pernah ada,” ujar Bob.
Pengalaman hidup Bob yang panjang dan berliku menjadikan dirinya sebagai
salah satu ikon entrepreneur Indonesia. Kemauan keras, tidak takut
risiko, dan berani menjadi miskin merupakan hal-hal yang tidak
dipisahkan dari resepnya dalam menjalani tantangan hidup. Menjadi
seorang entrepreneur menurutnya harus bersentuhan langsung dengan
realitas, tidak hanya berteori.
Karena itu, menurutnya, menjadi sarjana saja tidak cukup untuk melakukan
berbagai hal karena dunia akademik tanpa praktik hanya membuat orang
menjadi sekadar tahu dan belum beranjak pada taraf bisa. “Kita punya
ratusan ribu sarjana yang menghidupi dirinya sendiri saja tidak mampu,
apalagi menghidupi orang lain,” jelas Bob. Bob membuat rumusan
kesuksesan dengan membagi dalam empat hal yaitu tahu, bisa, terampil,
dan ahli.
“Tahu” merupakan hal yang ada di dunia kampus, di sana banyak diajarkan
berbagai hal namun tidak menjamin mereka bisa. Sedangkan “bisa” ada di
dalam masyarakat. Mereka bisa melakukan sesuatu ketika terbiasa dengan
mencoba berbagai hal walaupun awalnya tidak bisa sama sekali. Sedangkan
“terampil” adalah perpaduan keduanya. Dalam hal ini orang bisa melakukan
hal dengan kesalahan yang sangat sedikit. Sementara “ahli” menurut Bob
tidak jauh berbeda dengan terampil. Namun, predikat “ahli” harus
mendapatkan pengakuan dari orang lain, tidak hanya klaim pribadi.
salam sukses!
0 komentar:
Posting Komentar